Tuesday 29 March 2011

Kenapa Saya Benci Sinetron?



Saya sebenarnya adalah orang yang “benci melakukan perbuatan membenci”, eee kalimat yang paradoks yah?? Maksud saya “membenci” adalah salah satu penyakit mental yang sangat saya hindari, karena itu adalah sifat yang bakal menyiksa diri sendiri. Tapi untuk yang satu ini, saya gak bisa menghilangkan penyakit membenci. Saya benci dengan sinetron.

Setiap kali remote control ada dalam kekuasaan saya, sudah pasti sinetron adalah acara yang paling cepat saya lewati. Karena itulah Indosiar dan SCTV adalah 2 chanel yang paling jarang saya tonton. Seandainya chanel TV hanya Indosiar dan SCTV, mungkin saya orang pertama yang menggelar demo besar-besaran ke DPR, menggalang dana untuk membuat stasiun TV baru dan membuat group di Facebook: stop menonton TV kalau cuman 2 chanel!! syukurlah chanel TV tidak hanya 2 itu.



Tapi terkadang hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Adakalanya saya tidak memiliki kekuasaan atas remote control, dan sialnya penguasa remote control adalah pecinta sinetron. Apabila saya mengalami kondisi seperti itu, sindrom kebencian langsung menghampiri saya. Gejalanya adalah: Tubuh saya memberontak, kaki otomatis meminta berdiri, dan kemudian pergi jauh-jauh dari TV. Sekali lagi, terkadang hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Ada situasi tertentu yang tidak memungkinkan saya untuk pergi. Nah jika ini yang terjadi, otak sayalah yang bakal terserang. Setiap kalimat sinetron yang saya dengar, sel-sel otak saya akan mengalami penuaan dini. Semakin banyak kalimat sinetron yang terdengar, semakin banyak pula sel otak saya yang terganggu. Dan puncaknya kepala saya mengalami overload, kejenuhan tingkat tinggi langsung melanda. Seandainya selama 1 bulan saya diwajibkan rutin menonton sinetron, mungkin nama saya bakal tercatat di guines book of record, sebagai orang pertama di dunia yang meninggal karena bosan. Tuh kan, bahaya banget efek sinetron bagi saya.

Membenci sesuatu pasti ada alasannya. Sekarang akan saya beberkan alasan-alasan yang membuat saya membenci sinetron.

1. Alur sinetron sangat tidak alamiah. Terlalu banyak kejadian tidak logis dalam sinetron. Misalnya, selalu ada 2 karakter, yaitu si baik dan si jahat. Karakter baik, digambarkan sebagai orang yang santun, kalau bicara lembut, selalu mengalah, dan sangat amat teramat sabar. Dibentak responnya cuman diem, diludahi tetap aja diem, digampar masih aja diem, ditendang eh tetep diem!! ni orang kelewat sabar apa kelewat bodo?. Sedang karakter jahat, judesnya minta ampun, di otaknya yang ada cuman mikirin gimana caranya nyakitin karakter baik. Karakter ini sudah pasti teman akrabnya lucifer.

2. Ending yang pasti. Tidak ada efek wow dalam ending sinetron. Selalu saja endingnya adalah “dan kemudian mereka bahagia selamanya”. Saya yang sejak kecil seringkali mendengar dongeng yang diawali, “Pada suatu hari” dan kemudian diakhiri dengan “dan kemudian mereka bahagia selamanya”. Sudah pasti mengalami efek kebosanan akut selama menonton sinetron.

3. Nah yang ketiga ini adalah alasan terakhir, sekaligus alasan terpenting. Bahkan jika alasan yang ketiga ini tidak ada, maka alasan yang ke 1 dan ke 2 menjadi tidak relevan lagi. Alasan yang ketiga kenapa saya begitu membenci sinetron adalah: saya tidak pernah ikut andil dalam proses pembuatan sinetron. Yah entah itu sebagai sutradara, penulis sekrenario, atau jadi bintang sinetronnya. Kalo itu terkesan muluk-muluk, setidaknya saya jadi pemain figurannya. Meski cuman tampil 5 menit, dan kemudian menghilang, walau namanya saya nanti gak ditampilkan di credit title, saya rela, yah yang penting kan masuk TV.

NB: Semisal ada produsen sinetron yang membaca ini, perlu saya informasikan, saya dulunya adalah anggota teater yang mendapatkan rating tinggi di sekolah, bisa memerankan berbagai macam karakter. Dan misalnya nanti saya Anda rekrut sebagai bintang sinetron, niscaya judul artikel ini akan saya ganti menjadi, “Kenapa Saya Menyukai Sinetron”. Eeee apa perlu saya cantumkan nomer ponsel, KTP dan alamat rumah?

No comments:

Post a Comment